Featured Post

Seblak Enak, Tapi Tahu Nggak? Ada Bakteri Berbahaya di Balik Jamur Enoki! 🍲🦠

Lautku, Harapanku

 Salam sejahtera untuk kita semua.

Assalamualaikum wr. wb.,
Om Swastiastu,
Namo Buddhaya,
Salam Kebajikan,
Shalom.

Halo, apa kabar semuanya?
Semoga kalian selalu sehat dan penuh semangat, ya! 🌊✨

Kali ini, aku mau berbagi cerpen yang aku tulis sendiri nih. Temanya keren banget: Lautku Harapanku. Ceritanya bakal bikin kamu kebawa suasana, deh! Jadi, siap-siap aja buat tenggelam dalam alur ceritanya (eh, tapi jangan beneran tenggelam ya, hehe).

Langsung aja yuk, enjoy baca ceritanya! 🌊💙


Sinopsis Cerpen Lautku, Harapanku

Ilustrasi : Lautku, Harapanku


Lautku, Harapanku

Di masa depan, 7 Januari 2050

 

Terdengar teriakan Mbok Ratmi, setelah busa keluar dari mulutku. Saat itulah aku berusaha membuka mataku. Namun pandanganku tiba-tiba semakin kabur dan berputar, seperti sedang melayang. Tubuhku gemetar, dadaku sakit dan nafasku terengah-engah. Mungkinkah ini saatnya? Mungkinkah aku akan pergi menyusul kedua orangtuaku? Aku tidak tahu, untuk terakhir kalinya aku menghirup napas dalam-dalam. Aku bersiap untuk mati.

Kucoba memejamkan mataku, perlahan-lahan mengatur nafas. Aku benar-benar siap untuk mati. Untuk terakhir kalinya terlukis senyum yang sudah pernah hilang, senyumanku yang terakhir untuk dunia yang busuk ini. Selamat tinggal dunia penuh Pulau Plastik, selamat tinggal dunia penuh udara kotor dan limbah, selamat tinggal orang-orang kejam pada alam. Selamat tinggal semuanya. Aku mendengar suara deburan ombak laut dan kehilangan kesadaran.

"Nona baik-baik saja?" terdengar seseorang mengatakan kalimat itu di telingaku. Aku membuka kedua mata, terlihat wajah seorang anak laki-laki kecil menatapku khawatir. Wajah anak itu penuh telebok. Matanya yang bulat berkaca-kaca, la mulai menangis ketakutan.

"Aku baik-baik saja." Anak kecil itu membantuku duduk. Saat aku melihat sekitar, aku melihat apa yang tak pernah masuk ke dalam lensa dan terekam di otakku. Perairan laut yang amat jernih hingga terlihat bintang laut, kerang, dan terumbu karang yang berwarna-warni terhampar seperti lukisan alam yang memukau, membentang sepanjang mata memandang. Namun, tak hanya itu, aku juga melihat kelompok lumba-lumba yang bermain riang di permukaan air, meloncat dan berputar-putar dengan riangnya. Tanpa sadar aku bergumam, "Apakah ini surga?"

"Bukan Nona, ini bukan surga. Yang kau lihat ini laut." Anak kecil itu menatapku aneh sambil menyeka air mata yang tidak jadi menetes.

"Laut? Benarkah? Laut yang kuingat bukan laut yang seperti ini. Laut yang kuingat, lautannya adalah lautan sampah yang menjijikkan. Sangat sedikit spesies yang hidup dilaut, sangat sedikit tumbuhan yang tumbuh subur, dan sangat sedikit pula udara bersih untuk dihirup." Anak kecil itu tertawa terbahak-bahak. Ia menyatakan kalau aku sedang bermimpi, ia tidak percaya tentang adanya 'Laut' yang kusebutkan tadi. Aku meyakinkannya, tetapi ia tetap tidak percaya.


"Namaku Boyan Slat, kalau Nona?" tanya Boyan, mengulurkan tangannya mengajakku bersalaman. Aku membalas uluran tangannya, menjabat erat tangan kecil itu dan menyebutkan namaku, "Mawar Delmara. Panggil aku Mawar."

"Nama yang unik, aku belum pernah mendengarnya. Apa arti namamu?” ujar Boyan mengernyitkan dahi

“Mawar itu adalah harapan orang tuaku agar aku seperti mawar yang cantik, penuh cinta, dan keberanian. Sedangkan Delmara berarti lautan.” jawabku tersipu

“Apa nona tinggal di dekat laut atau pantai?” tanya Boyan penasaran

 

“Tepat sekali Boyan, aku tinggal di dekat Pantai Kelapa Tuban, Indonesia.”

 

“Nona orang Indonesia?" tanyanya sambil menatapku dari atas sampai bawah, "atau imigran gelap yang lari dari Indonesia karena dijadikan budak?" Ia menatapku tajam, "kalau itu benar, aku harus melaporkanmu ke kepala desa."

"Aku bukanlah seorang budak seperti yang kau pikirkan. Aku adalah penjelajah yang kehabisan bekal." ujarku asal, semoga Boyan percaya.

"Baiklah kalau begitu, karena nona penjelajah kehabisan bekal dan kemungkinan sedang lapar. Bagaimana kalau kita ke rumahku dan membersihkan badanmu?" Boyan menarik tanganku, ia menuntunku ke sebuah rumah besar yang dekat dari tempat kami bertemu. Rumah itu terletak dekat dengan pelabuhan dan menghadap ke arah lautan biru yang luar biasa indah dan jernih tadi. Laut itu memantulkan sinar matahari, tampak seperti ribuan berlian terapung di permukaannya. Suatu hal yang langka yang belum pernah aku jumpai.

"Boyan, waar vandaan? Lihat bajumu! Volle modder." Seorang wanita anggun menghampiriku dan Boyan, wanita itu melihatku penuh selidik. "Siapa nona muda ini Boyan? Je nieuwe vriend?"

"Moeder, dia adalah seorang penjelajah yang kutemukan pingsan di tepi Pantai Scheveningen. Ia bernama Mawar Delmara dari Indonesia, dan nona Mawar Delmara ini sedang kelaparan serta membutuhkan tempat tinggal. Bolehkah ia tinggal di sini, een tijdje?"

Ibu Boyan mengiyakan permintaan putra kecilnya, dengan senang hati Ibu Boyan, Mrs. Agnes Muirhead, menerimaku. Setiap hari, ketika matahari berada tepat di atas kepala, Mrs. Muirhead mengajari putranya tentang matematika, sains dan pelajaran lain. Tapi, Boyan hanya menaruh hatinya pada sains. Pada malam hari ketika aku dan Boyan menikmati suasana malam


di tepi laut, aku membacakan cerita rakyat Belanda dan legenda kesukaannya. Aku juga menceritakan kondisi paantai di dekat tempat tinggalku yang sering abrasi dan kemungkinan besar menjadi Pulau Plastik, Pulau Plastik tercipta karena banyak pantai yang dibuka untuk berwisata. Namun, para wisatawan sangat acuh tak acuh terhadap sampah, mereka membuang sampah ke laut tanpa berfikir dampak kedepannya. Mengingat negaraku setiap hari mengedarkan 500 juta kantong plastik dan dari seluruh plastik yang dibuang, 40% berakhir di laut. Aku tidak heran, jika Indonesia dinobatkan sebagai penyumbang terbesar kedua di dunia sampah plastik ke laut. Aku sangat berharap lautan di negeriku bisa pulih kembali. Mendengar keluh kesah mawar, Boyan mulai tertarik dengan masalah Pulau Plastik, ia ingin membuat teknologi canggih untuk membersihkan sampah plastik di laut. alat dengan arus ombak laut sebagai energinya. Kemudian Boyan menatap ombak laut, "aku yakin gerakan alami arus ombak yang terlihat tak berguna, kelak akan ada gunanya." ujar Boyan sambil tersenyum, ia berjanji akan membuat alat impiannya itu suatu hari.

“Kau akan berhasil membuat alat itu. Aku tidak ingin merubah sejarah, Boyan. Aku akan membuatmu berjanji padaku. Karena di masa depan, seorang Boyan Slat akan menjadi pemikir sekaligus teknisi hebat yang peduli dengan alam.” Sahut hati kecilku.

“Berjanjilah padaku Boyan, kau akan membuat alat itu.” ujarku meyakinkan Boyan

 

"Baiklah kalau begitu, aku berjanji padamu Mawar." Boyan tersenyum lebar, "Umm, Mawar... esok adalah hari ulang tahunku kesepuluh, dan esok juga adalah hari kesepuluh setelah pertama kali kita bertemu pada tanggal 7 Januari 2004. Bolehkah aku meminta sebuah hadiah darimu? Karena menurutku angka sepuluh sangat istimewa."

"Apa yang kau inginkan dariku, Boyan?" tanyaku lembut sambil mengusap kepalanya.

 

"Aku ingin kau menjawab pertanyaanku dengan sejujur-jujurnya. Kau berasal dari mana?" Boyan menatapku penasaran, "karena laut yang kau ceritakan berbeda dengan laut yang ada di negeraku saat ini."

"Agak susah mengatakannya. Tapi, baiklah. Aku berasal dari Indonesia tahun ke-2050.

Lima dekade dari sekarang di masa depan."

 

Boyan tertawa terbahak-bahak, ia mengatakan bahwa aku sedang bercanda. Kemudian ia turun dari tempat tidurnya dan mengambil sebuah toples kecil yang berisi beragam biota laut dari meja belajarnya. Lalu ia meletakkan toples kecil itu di kedua telapak tanganku.


"Kau pernah bilang, pantai di dekat rumahmu sering abrasi. Jadi, aku mohon tanamlah bibit mangrove ini di pantai dekat rumahmu itu. Aku tidak tahu jenis bibit mangrove apa saja di dalam toples ini. Karena jenis bibit-bibit ini dikumpulkan oleh pekerja ayahku yang berlayar melintasi dunia luas. Jadi, jenis bibit-bibit ini berasal dari berbagai negara. Aku ingin kau tidak khawatir lagi, jika datang abrasi. Berjanjilah untuk menanamnya didekat pantai dan merawatnya sampai menjadi pohon yang besar dan sehat." James kembali berbaring di atas tempat tidurnya. la tertidur dengan pulasnya.

"Terima kasih banyak Boyan, tapi permasalahannya adalah.. aku tidak tahu bagaimana cara kembali ke negeri asalku." Aku mulai mengantuk, dengan pelan mataku tertutup sepenuhnya. Aku tertidur pulas untuk pertama kalinya seumur hidupku.

***

 

"Mawar, Ayo bangun Nak. Aku tak sanggup melihatmu seperti ini!" Rintih seseorang. Aku seperti tidak asing dengan suara rintihan itu. Tapi yang jelas, rintihan itu membuatku terbangun.

Ketika aku membuka mata, terlihat Mbok Ratmi yang sedang menangis dan seorang lelaki tua berjas putih memakai stetoskop menghampiriku.

“Apa yang terjadi padaku?” tanyaku bingung sambil melihat sudut-sudut ruangan

 

“Kau mengalami keracunan, Apa yang telah kau konsumsi hingga sampai seperti ini?” tanya lelaki berjas putih padaku

“Seingatku, aku hanya makan ikan di warung Mbok Ratmi. Benar kan, Mbok?” jawabku sembari menatap Mbok Ratmi

“Betul. Tapi Nak, ikan yang Mbok jual itu fresh, dan asli dari laut” jawab Mbok Ratmi

lembut

 

“Setelah ditinjau dari hasil Laboratorium, kau keracunan karena mengonsumsi mikroplastik. Hal ini biasanya terjadi pada ikan di laut yang memakan sampah-sampah plastik” ujar Dokter tua itu

“Kalau begitu, Mbok minta maaf padamu ya Nak. Mbok tidak tahu kalau ikan itu mengandung zat berbahaya.” ujar Mbok Ratmi menunduk sambil menahan tangisnya


“Iya Mbok, Mawar tahu ini bukan sepenuhnya salah Mbok Ratmi. Manusia yang tidak bertanggung jawablah yang tega membuang sampah ke laut, dan tidak memikirkan dampak kedepannya” ucapku sambil mengusap air mata di pipi Mbok ratmi

Tak lama Kemudian, Perawat masuk ke ruang rawatku dan memberi tahu Mbok Ratmi bahwa cucunya yang sedang demam di ruang rawat sebelah mencarinya. Kemudian, Mbok Ratmi pamit padaku dan pergi untuk melihat cucunya. Sementara Dokter tua yang memeriksaku masih ada di ruang rawatku.

“Maaf, tanggal berapakah sekarang Dok?" tanyaku bingung.

 

"Sekarang? 7 Januari 2047." Dokter itu menatapku aneh, "Mawar, benda apakah yang ada di pelukanmu itu?"

Aku melihat benda yang berada dalam pelukan eratku. Benda itu adalah sebuah toples kecil berisikan beragam biota laut yang diberikan oleh Boyan kepadaku. Tapi, kenapa toples itu bisa ada di sini? Maksudku di zaman ini? Kukira pertemuanku dengan Boyan adalah sebuah mimpi. Jika toples ini berada di zaman ini, berarti perjalananku ke masa lalu memang benar- benar terjadi. Keajaiban macam apa ini?

"Apa yang terjadi padaku?" gumamku pelan.

 

"Mawar Delmara, kau belum menjawab pertanyaanku. Benda apakah yang sedang kau peluk itu?" tanya Dokter padaku

"Ini?" aku menatap toples itu dengan senyum lebar, "sebuah hadiah kecil dari temanku yang berharga. Beragam biota laut dari lautan di berbagai negara."

Dokter itu memintaku untuk membuka tutup toples, kemudian ia memasukkan tangan keriputnya ke dalam toples dan mengambil beberapa bibit pohon. Ia terdiam, wajahnya pucat pasi. Sambil tergagap ia mengatakan kalau bibit-bibit pohon mangrove dari Boyan adalah bibit pohon mangrove yang sangat langka dan sebagian besar sudah punah. Lalu ia bertanya, di manakah keberadaan seorang teman yang memberiku bibit-bibitan itu.

"Dari sebuah kota kecil bernama Delft, Belanda. Tahun 2004. Aku mendapatkannya dari lima dekade dari masa lampau." Jawabku mantap tanpa ada keraguan di dalamnya. Dokter tua itu tertawa terbahak-bahak dan mengatakan bahwa aku adalah seorang pemimpi dan pengkhayal ulung. Baiklah, tertawalah sepuasnya. Aku sudah pernah diperlakukan dengan hal yang sama seperti ini sebelumnya. Oleh Boyan tentunya.


"Katakanlah padaku, temanmu itu apakah salah satu dari anggota program European Commisions Horizon Europe?" dokter itu menatapku tajam.

"Terserah anda, percaya atau tidak. Aku memang melakukan perjalanan ke masa lampau dan bertemu dengan seorang calon penemu teknologi pembersih sampah di lautan dan orang itu juga yang memberikanku toples kecil ini."

Dokter itu menatapku serius, "Tunggu, maksudmu Boyan Slat? Hahahaha itu tidak mungkin."

“Aku sudah berjanji padanya untuk merawat bibit-bibit mangrove ini sampai tumbuh besar dan sehat, sehingga jika abrasi datang aku tak perlu khawatir. Walaupun kau tidak percaya asal muasal dari bibit-bibit ini. Aku akan tetap mewujudkan janjiku."

"Baiklah, aku akan membantumu menumbuhkan bibit-bibit ini dan membantu merawatnya di laboratoriumku sebelum kau menanamnya di dekat pantai." Profesor itu menuntunku ke dalam mobil, kemudian ia membawaku ke sebuah bangunan tinggi dengan banyak panel surya menempel di dinding. "Aku akan membantumu merawat dan mengembangkan bibit-bibit itu di bangunan ini." Ujar Dokter tua itu sambil tersenyum

Aku mengangguk setuju. Akhirnya, sebentar lagi aku akan memenuhi janjiku pada Boyan. Setelah itu, dokter tua itu memaksa untuk mengantarku pulang.

“Mawar, izinkan aku mengantarmu pulang.” Paksa kepala dokter.

 

“Tidak perlu Dok, aku bisa pulang sendiri.” Jawabku meyakinkan dokter itu.

 

Tetapi akhirnya, aku tetap saja tidak bisa menolak paksaan dokter itu. Mungkin, ia kasihan kepadaku karena aku sendirian dan badanku masih terlihat sangat lemah. Setelah tiba di halaman rumah, aku berterima kasih sambil melambaikan kedua tanganku kepadanya.

***

 

Keesokan harinya ketika tubuhku sudah kembali sehat. Aku duduk di teras rumah, Aku teringat akan janjiku pada Boyan. Janjiku untuk memperingati para wisatawan pantai kelapa untuk tidak membuang sampah seenak jidat mereka. Tapi, ada sedikit rasa sesal di benakku. Aku belum mengucapkan terima kasihku padanya secara langsung ketika ia benar-benar terbangun dan dapat mendengar suaraku.


Tak berselang lama, aku berjalan menuju pantai berharap energiku bisa pulih kembali. Di perjalanan menuju pantai, aku bertemu dengan tetanggaku. Mayoritas tetanggaku yang cukup dari segi ekonomi akan bekerja sebagai nelayan, nelayan yang hanya memiliki perahu kecil setiap sore mereka pulang dan nelayan yang memilki perahu besar biasanya pulang hanya seminggu sekali karena perahunya bisa menampung lebih banyak ikan. Namun berbeda dengan yang berekonomi lemah, mereka hanya bisa njaring dan ngeting. Aku bertemu dengan Jatmiko yang pulang ngeting, biasanya ia berangkat tengah malam sambil menyalakan lampu ublik untuk mencari ikan dan pulang pagi, lalu ia menjual hasil tangkapannya di pasar atau di bibir pantai.

“Hei, Mawar! Hendak ke mana kamu?” sapa Jatmiko

 

“Aku ingin berjalan-jalan saja Jat. Wajahmu terlihat murung, Gerangan apa yang membuatmu murung Jat?” tanyaku sambil mengernyitkan dahi

“Bagaimana aku tidak murung dan kecewa, aku pergi ke laut semalaman yang kudapat hanya sampah. Padahal sebelumnya, aku selalu mendapat ikan. Lalu, apa yang harus kujual ke pasar nanti? Jika aku tidak mendapat ikan, bagaimana nasib keluargaku Mawar?” ujar Jatmiko sambil menahan air mata

“Apakah sudah sangat parah kondisi laut di Lautku ini?” gumam hati kecilku

 

“Begini saja, pasti di bebatuan ada tiram. Sementara waktu, kau manfaatkan tiram itu dulu untuk di masak, lagi pula tiram rasanya juga sangat lezat Jat” jawabku menenangkan Jatmiko

“Oiya, aku baru ingat di bebatuan pasti ada tiram. Setidaknya hari ini keluargaku masih bisa makan” ujar Jatmiko penuh harap

“Lalu, mengapa kau masih di sini? Ayo ambil tiramnya,” ucapku sambil tersenyum

 

Kemudian, Jatmiko dengan cepat membalikkan tubuhnya, lalu berlari kembali ke bibir pantai sambil berteriak “Aku pergi dulu Mawar!”

“Iya, lari yang kencang biar tidak keduluan yang lain Jat,” jawabku berteriak

 

Tak lama kemudian, aku sampai di pantai dan bertemu dengan Pak Muhasan, seorang penjaga Pantai Kelapa Panyuran Tuban yang sedang menyapu sampah di bibir Pantai.

“Hai, Pak Muhasan!” Sapaku dengan antusias.


“Hei Mawar, bagaimana kabarmu Nak?” ucap Pak Muhasan yang berhenti menyapu. “Kabarku baik Pak, ada yang ingin aku bicarakan padamu” ujarku.

“Tentu saja, silakan,” jawab Pak Muhasan seraya meletakkan sapunya dan mengajakku

duduk.

 

“Jadi begini Pak, Semenjak pantai ini dibuka menjadi tempat wisata oleh pemerintah. Aku melihat banyak sekali masalah sampah bermunculan. Para wisatawan suka membuang sampah sembarangan, Apalagi banyak oknum yang sengaja membuang sampah rumah tangga bahkan limbah pabrik ke laut sehingga kita harus mengambil tindakan tegas bila perlu memberikan sanksi jera terhadap para pengunjung atau oknum yang tidak bertanggung jawab itu," keluhku.

"Iya Nak, aku sebenarnya setuju dan mengerti akan hal itu. Di sisi lain, aku juga takut tindakan tegas itu akan membuat jumlah wisatawan berkurang. Pantai ini adalah mata pencaharian utama warga setempat, dan ekonomi kami sangat bergantung pada pariwisata ini," Jawab Muhasan dengan nada yang lembut.

“Aku memahami kekhawatiran Pak Muhasan, tapi aku juga tak bisa mengabaikan masalah sampah ini,” Gumamku dalam hati.

"Tapi, lihatlah sekelilingmu Pak. Sampah-sampah berserakan, terutama plastik yang berpeluang besar berakhir menjadi pulau plastik jika kita tidak bertindak sekarang. Bagaimana kita bisa membiarkan hal itu terjadi? Tidak bisa dipungkiri, hewan di laut juga memakan sampah karena kemarin aku juga keracunan mikroplastik yang ada di dalam tubuh ikan, Pak. Apalagi, para nelayan juga terdampak karena hasil tangkapan mereka bukan lagi ikan, melainkan sampah-sampah Pak," sanggahku.

"Nak, aku turut prihatin atas musibah yang menimpamu. Aku juga peduli dengan lingkungan laut, tapi kita harus memikirkan warga yang bergantung pada pantai ini untuk hidup. Mereka menjual makanan, souvenir, dan jasa lainnya kepada wisatawan," Ujar Pak Muhasan yang mencoba meyakinanku.

Debat kami berlanjut, masing-masing dari kami merasa benar dengan pendapatnya. Tapi aku tahu, kita harus menemukan jalan tengah. Aku berpikir sejenak, lalu berkata, "Pak Muhasan, bagaimana jika kita tidak memberlakukan sanksi, tetapi kita mengedukasi para wisatawan dengan memasang poster-poster ajakan untuk membuang sampah pada tempatnya


di sepanjang pantai ini? Poster tentang bahaya membuang sampah sembarangan dan dampak negatifnya pada lingkungan sekitar kita. Apalagi, jika teknologi Boyan Slat yang menciptakan pembersih sampah di Lautan bisa diterapkan di Pantai Kelapa. Tidak menutup kemungkinan pula, seiring berkembangnya teknologi pasti masalah ini akan terselesaikan." ujarku pada Muhasan yang juga bingung menyelesaikan masalah ini.

Pak Muhasan merenung sejenak, lalu mengangguk setuju. "Itu mungkin bisa menjadi solusi yang baik, Nak. Kita bisa melibatkan warga setempat dalam mengelola dan menjaga kebersihan pantai ini, serta mengedukasi para pengunjung." Jawab Muhasan yang terlihat sangat antusias.

"Baiklah, Pak. Semoga kita bisa bekerja sama untuk menjaga keindahan Pantai Kelapa dan mendukung ekonomi para warga setempat," ucapku tersenyum puas. Lalu, Kami berdua meninggalkan pantai dengan perasaan lega karena kami telah menemukan solusi yang baik untuk menjaga keindahan Pantai Kelapa dan menjaga mata pencaharian warga setempat.

Beberapa bulan kemudian, Pantai Kelapa terlihat lebih bersih dan lebih terawat. Kampanye melalui poster tentang menjaga kebersihan pantai sudah terpasang di sepanjang pantai. Para pengunjung mulai sadar akan pentingnya menjaga lingkungan, dan warga setempat bekerja sama untuk menjaga ekonomi mereka dan keindahan alam yang mereka cintai.

“Ketika senja melukiskan keindahannya. Saat itu aku berdoa, semoga Pantai Kelapa selalu indah seperti ini, dan semoga kepedulian terhadap lingkungan ini juga menyebar ke seluruh Laut Jawa Timur,” doaku penuh harap.

Arti Istilah

 

1.  telebok : lumpur

2.  njaring : menjaring ika-ikan di laut

3.  ngeting : mencari ikan di malam hari menggunakan lampu ublik

4.  tiram : hewan yang hidup di bebatuan dan bisa dikonsumsi

5.  waar vandaan : dari mana?

6.  moeder : ibu

7.  volle modder : penuh lumpur

8.  je nieuwe vriend : teman barumu

9.  een tijdje : untuk sementara waktu


Enno Ajeng Larasati
Where stories, tips, and science shine like stars.

Tidak ada komentar