Lautku, Harapanku
Salam sejahtera untuk kita semua.
Assalamualaikum wr. wb.,
Om Swastiastu,
Namo Buddhaya,
Salam Kebajikan,
Shalom.
Halo, apa kabar semuanya?
Semoga kalian selalu sehat dan penuh semangat, ya! 🌊✨
Kali ini, aku mau berbagi cerpen yang aku tulis sendiri nih. Temanya keren banget: Lautku Harapanku. Ceritanya bakal bikin kamu kebawa suasana, deh! Jadi, siap-siap aja buat tenggelam dalam alur ceritanya (eh, tapi jangan beneran tenggelam ya, hehe).
Langsung aja yuk, enjoy baca ceritanya! 🌊💙
Sinopsis Cerpen Lautku, Harapanku
![]() |
Ilustrasi : Lautku, Harapanku |
Lautku, Harapanku
Di masa depan,
7 Januari 2050
Terdengar
teriakan Mbok Ratmi, setelah busa keluar dari mulutku. Saat itulah aku berusaha membuka
mataku. Namun pandanganku tiba-tiba semakin kabur dan berputar, seperti sedang melayang. Tubuhku gemetar, dadaku sakit dan
nafasku terengah-engah. Mungkinkah ini saatnya? Mungkinkah aku akan pergi
menyusul kedua orangtuaku? Aku tidak
tahu, untuk terakhir kalinya aku menghirup napas dalam-dalam. Aku bersiap untuk
mati.
Kucoba
memejamkan mataku, perlahan-lahan mengatur nafas. Aku benar-benar siap untuk
mati. Untuk terakhir kalinya terlukis senyum yang sudah pernah hilang,
senyumanku yang terakhir untuk dunia yang busuk ini. Selamat tinggal dunia penuh Pulau Plastik, selamat tinggal
dunia penuh udara kotor dan limbah, selamat tinggal orang-orang kejam pada
alam. Selamat tinggal semuanya. Aku mendengar suara deburan ombak laut dan
kehilangan kesadaran.
"Nona
baik-baik saja?" terdengar seseorang mengatakan kalimat itu di telingaku. Aku membuka kedua
mata, terlihat wajah seorang
anak laki-laki kecil menatapku
khawatir. Wajah anak itu penuh
telebok. Matanya yang bulat
berkaca-kaca, la mulai menangis ketakutan.
"Aku baik-baik saja." Anak kecil
itu membantuku duduk.
Saat aku melihat sekitar, aku melihat apa yang tak pernah masuk ke dalam lensa dan terekam
di otakku. Perairan laut yang
amat jernih hingga terlihat bintang laut, kerang, dan terumbu karang yang
berwarna-warni terhampar seperti lukisan alam yang memukau, membentang
sepanjang mata memandang. Namun, tak hanya itu, aku juga melihat kelompok
lumba-lumba yang bermain riang di permukaan air, meloncat dan berputar-putar
dengan riangnya. Tanpa sadar aku bergumam, "Apakah ini surga?"
"Bukan Nona, ini bukan surga. Yang kau lihat ini laut." Anak kecil itu menatapku aneh sambil menyeka air mata yang tidak
jadi menetes.
"Laut?
Benarkah? Laut yang kuingat bukan laut yang seperti ini. Laut yang kuingat,
lautannya adalah lautan sampah yang menjijikkan. Sangat sedikit spesies yang
hidup dilaut, sangat sedikit tumbuhan yang tumbuh subur, dan sangat sedikit
pula udara bersih untuk dihirup." Anak kecil
itu tertawa terbahak-bahak. Ia menyatakan kalau aku sedang
bermimpi, ia tidak percaya
tentang adanya 'Laut' yang kusebutkan tadi. Aku meyakinkannya, tetapi ia tetap tidak
percaya.
"Namaku Boyan
Slat, kalau Nona?" tanya Boyan, mengulurkan tangannya mengajakku
bersalaman. Aku membalas
uluran tangannya, menjabat
erat tangan kecil itu dan menyebutkan
namaku, "Mawar Delmara. Panggil aku Mawar."
"Nama
yang unik, aku belum pernah mendengarnya. Apa arti namamu?” ujar Boyan
mengernyitkan dahi
“Mawar
itu adalah harapan orang tuaku agar aku seperti mawar yang cantik, penuh cinta,
dan keberanian. Sedangkan Delmara berarti lautan.” jawabku tersipu
“Apa nona tinggal di dekat laut atau pantai?”
tanya Boyan penasaran
“Tepat sekali
Boyan, aku tinggal di dekat Pantai
Kelapa Tuban, Indonesia.”
“Nona
orang Indonesia?" tanyanya sambil menatapku dari atas sampai bawah,
"atau imigran gelap yang lari dari Indonesia karena dijadikan budak?"
Ia menatapku tajam, "kalau itu benar, aku harus melaporkanmu ke kepala
desa."
"Aku
bukanlah seorang budak seperti yang kau pikirkan. Aku adalah penjelajah yang kehabisan bekal." ujarku asal,
semoga Boyan percaya.
"Baiklah
kalau begitu, karena nona penjelajah kehabisan bekal dan kemungkinan sedang lapar.
Bagaimana kalau kita ke rumahku
dan membersihkan badanmu?" Boyan menarik
tanganku, ia menuntunku ke sebuah
rumah besar yang dekat dari tempat kami bertemu. Rumah itu terletak dekat dengan pelabuhan dan menghadap ke arah lautan
biru yang luar biasa indah dan jernih tadi. Laut itu memantulkan sinar
matahari, tampak seperti ribuan berlian terapung di permukaannya. Suatu hal
yang langka yang belum pernah aku jumpai.
"Boyan, waar
vandaan? Lihat bajumu! Volle modder."
Seorang wanita anggun menghampiriku dan Boyan,
wanita itu melihatku penuh selidik. "Siapa nona muda ini Boyan?
Je nieuwe vriend?"
"Moeder, dia adalah seorang penjelajah
yang kutemukan pingsan di tepi Pantai Scheveningen. Ia bernama Mawar Delmara
dari Indonesia, dan nona Mawar Delmara ini sedang kelaparan serta membutuhkan
tempat tinggal. Bolehkah ia tinggal di
sini, een tijdje?"
Ibu Boyan
mengiyakan permintaan putra kecilnya, dengan senang hati Ibu Boyan,
Mrs. Agnes Muirhead, menerimaku. Setiap hari, ketika matahari berada
tepat di atas kepala, Mrs. Muirhead mengajari putranya
tentang matematika, sains dan pelajaran lain. Tapi, Boyan
hanya menaruh hatinya pada sains. Pada malam hari ketika aku dan Boyan
menikmati suasana malam
di tepi laut, aku membacakan cerita rakyat Belanda dan legenda
kesukaannya. Aku juga menceritakan kondisi paantai di dekat tempat tinggalku
yang sering abrasi dan kemungkinan besar menjadi Pulau Plastik, Pulau Plastik
tercipta karena banyak pantai yang dibuka untuk berwisata. Namun, para wisatawan sangat acuh tak acuh terhadap sampah, mereka membuang sampah ke laut
tanpa berfikir dampak kedepannya. Mengingat negaraku setiap hari mengedarkan 500 juta
kantong plastik dan dari seluruh
plastik yang dibuang, 40% berakhir di laut. Aku tidak heran, jika
Indonesia dinobatkan sebagai penyumbang terbesar kedua di dunia sampah plastik ke laut.
Aku sangat berharap
lautan di negeriku
bisa pulih kembali.
Mendengar keluh kesah mawar, Boyan mulai tertarik dengan masalah Pulau
Plastik, ia ingin membuat teknologi canggih untuk membersihkan sampah plastik
di laut. alat dengan arus ombak laut sebagai energinya. Kemudian Boyan menatap
ombak laut, "aku yakin gerakan alami arus ombak yang terlihat tak berguna,
kelak akan ada gunanya." ujar Boyan sambil tersenyum, ia berjanji akan
membuat alat impiannya itu suatu hari.
“Kau
akan berhasil membuat alat itu. Aku tidak ingin merubah sejarah, Boyan. Aku
akan membuatmu berjanji padaku. Karena di masa depan, seorang Boyan Slat akan
menjadi pemikir sekaligus teknisi hebat yang peduli dengan alam.” Sahut hati
kecilku.
“Berjanjilah padaku
Boyan, kau akan membuat alat itu.” ujarku
meyakinkan Boyan
"Baiklah
kalau begitu, aku berjanji padamu Mawar." Boyan tersenyum lebar,
"Umm, Mawar... esok adalah hari ulang tahunku kesepuluh, dan esok juga
adalah hari kesepuluh setelah pertama kali kita
bertemu pada tanggal 7 Januari 2004. Bolehkah aku
meminta sebuah hadiah darimu? Karena
menurutku angka sepuluh sangat istimewa."
"Apa yang kau inginkan
dariku, Boyan?" tanyaku
lembut sambil mengusap
kepalanya.
"Aku
ingin kau menjawab pertanyaanku dengan sejujur-jujurnya. Kau berasal dari
mana?" Boyan menatapku penasaran, "karena laut yang kau ceritakan
berbeda dengan laut yang ada di negeraku saat ini."
"Agak susah mengatakannya. Tapi, baiklah. Aku berasal dari Indonesia tahun ke-2050.
Lima
dekade dari sekarang di masa depan."
Boyan tertawa terbahak-bahak, ia mengatakan bahwa aku sedang
bercanda. Kemudian ia turun
dari tempat tidurnya
dan mengambil sebuah toples kecil yang berisi
beragam biota laut dari meja belajarnya. Lalu ia
meletakkan toples kecil itu di kedua telapak tanganku.
"Kau pernah
bilang, pantai di dekat rumahmu
sering abrasi. Jadi, aku mohon
tanamlah bibit mangrove ini di pantai dekat rumahmu itu. Aku tidak tahu jenis
bibit mangrove apa saja di dalam
toples ini. Karena
jenis bibit-bibit ini dikumpulkan oleh pekerja ayahku
yang berlayar melintasi dunia
luas. Jadi, jenis bibit-bibit ini berasal dari berbagai
negara. Aku ingin kau tidak khawatir lagi, jika datang abrasi.
Berjanjilah untuk menanamnya didekat pantai dan merawatnya sampai menjadi pohon
yang besar dan sehat." James kembali berbaring di atas tempat tidurnya. la
tertidur dengan pulasnya.
"Terima kasih banyak Boyan,
tapi permasalahannya adalah..
aku tidak tahu bagaimana
cara kembali ke negeri asalku." Aku mulai mengantuk, dengan pelan mataku
tertutup sepenuhnya. Aku tertidur pulas untuk pertama kalinya seumur hidupku.
***
"Mawar, Ayo bangun Nak. Aku tak sanggup melihatmu seperti ini!" Rintih seseorang. Aku seperti tidak asing dengan suara rintihan itu.
Tapi yang jelas, rintihan itu membuatku terbangun.
Ketika
aku membuka mata, terlihat Mbok Ratmi yang sedang menangis dan seorang lelaki
tua berjas putih memakai stetoskop menghampiriku.
“Apa yang terjadi padaku?”
tanyaku bingung sambil
melihat sudut-sudut ruangan
“Kau mengalami keracunan, Apa yang
telah kau konsumsi
hingga sampai seperti
ini?” tanya lelaki berjas putih padaku
“Seingatku,
aku hanya makan ikan di warung Mbok Ratmi. Benar kan, Mbok?” jawabku sembari
menatap Mbok Ratmi
“Betul. Tapi Nak, ikan yang Mbok jual itu fresh, dan
asli dari laut” jawab Mbok Ratmi
lembut
“Setelah
ditinjau dari hasil Laboratorium, kau keracunan karena mengonsumsi
mikroplastik. Hal ini biasanya terjadi
pada ikan di laut yang memakan sampah-sampah plastik” ujar Dokter tua itu
“Kalau
begitu, Mbok minta maaf padamu ya Nak. Mbok tidak tahu kalau ikan itu
mengandung zat berbahaya.” ujar Mbok Ratmi menunduk sambil menahan tangisnya
“Iya Mbok, Mawar tahu ini
bukan sepenuhnya salah Mbok Ratmi. Manusia
yang tidak bertanggung jawablah yang
tega membuang sampah ke laut, dan tidak memikirkan dampak kedepannya” ucapku
sambil mengusap air mata di pipi Mbok ratmi
Tak lama Kemudian, Perawat
masuk ke ruang rawatku dan memberi tahu Mbok Ratmi bahwa cucunya yang sedang demam di
ruang rawat sebelah mencarinya. Kemudian, Mbok Ratmi pamit padaku dan pergi
untuk melihat cucunya. Sementara Dokter tua yang memeriksaku masih ada di ruang
rawatku.
“Maaf, tanggal
berapakah sekarang Dok?" tanyaku bingung.
"Sekarang? 7 Januari
2047." Dokter itu
menatapku aneh, "Mawar, benda apakah yang ada di pelukanmu itu?"
Aku
melihat benda yang berada dalam
pelukan eratku. Benda itu
adalah sebuah toples kecil
berisikan beragam biota laut yang diberikan oleh Boyan kepadaku. Tapi, kenapa
toples itu bisa ada di sini? Maksudku di zaman ini? Kukira pertemuanku dengan Boyan adalah
sebuah mimpi. Jika toples ini berada di zaman ini, berarti perjalananku
ke masa lalu memang benar- benar terjadi. Keajaiban macam apa ini?
"Apa yang terjadi padaku?" gumamku pelan.
"Mawar Delmara,
kau belum menjawab
pertanyaanku. Benda apakah
yang sedang kau peluk itu?" tanya Dokter padaku
"Ini?" aku menatap toples itu dengan senyum lebar, "sebuah hadiah kecil dari temanku
yang berharga. Beragam biota laut dari lautan di berbagai negara."
Dokter
itu memintaku untuk membuka tutup toples,
kemudian ia memasukkan tangan
keriputnya ke dalam toples dan
mengambil beberapa bibit pohon. Ia terdiam, wajahnya pucat pasi. Sambil
tergagap ia mengatakan kalau bibit-bibit pohon
mangrove dari Boyan
adalah bibit pohon mangrove yang sangat langka dan sebagian
besar sudah punah. Lalu ia bertanya, di manakah keberadaan seorang teman yang
memberiku bibit-bibitan itu.
"Dari
sebuah kota kecil bernama Delft, Belanda. Tahun 2004. Aku mendapatkannya dari lima dekade dari masa lampau." Jawabku mantap tanpa
ada keraguan di dalamnya. Dokter tua itu tertawa terbahak-bahak dan
mengatakan bahwa aku adalah seorang pemimpi dan pengkhayal ulung. Baiklah, tertawalah sepuasnya. Aku sudah pernah diperlakukan dengan hal yang sama
seperti ini sebelumnya. Oleh Boyan tentunya.
"Katakanlah padaku, temanmu itu apakah salah satu
dari anggota program European Commisions
Horizon Europe?" dokter itu menatapku tajam.
"Terserah
anda, percaya atau tidak. Aku memang melakukan perjalanan ke masa lampau dan bertemu dengan
seorang calon penemu teknologi pembersih sampah di lautan dan orang itu juga yang memberikanku
toples kecil ini."
Dokter
itu menatapku serius, "Tunggu, maksudmu Boyan Slat? Hahahaha itu tidak mungkin."
“Aku
sudah berjanji padanya untuk merawat bibit-bibit mangrove ini sampai tumbuh besar dan sehat, sehingga jika abrasi datang aku tak perlu khawatir. Walaupun kau tidak percaya
asal muasal dari bibit-bibit ini. Aku akan tetap mewujudkan
janjiku."
"Baiklah,
aku akan membantumu menumbuhkan bibit-bibit ini dan membantu merawatnya di
laboratoriumku sebelum kau menanamnya di dekat pantai." Profesor itu
menuntunku ke dalam mobil, kemudian ia membawaku ke sebuah bangunan tinggi
dengan banyak panel surya menempel di dinding. "Aku akan membantumu
merawat dan mengembangkan bibit-bibit itu di bangunan ini." Ujar Dokter
tua itu sambil tersenyum
Aku
mengangguk setuju. Akhirnya, sebentar lagi aku akan memenuhi janjiku pada
Boyan. Setelah itu, dokter tua itu memaksa untuk mengantarku pulang.
“Mawar, izinkan
aku mengantarmu pulang.”
Paksa kepala dokter.
“Tidak perlu
Dok, aku bisa pulang sendiri.” Jawabku
meyakinkan dokter itu.
Tetapi
akhirnya, aku tetap saja tidak bisa menolak paksaan dokter itu. Mungkin, ia
kasihan kepadaku karena aku
sendirian dan badanku masih terlihat sangat lemah. Setelah tiba di halaman rumah, aku berterima kasih sambil melambaikan
kedua tanganku kepadanya.
***
Keesokan harinya
ketika tubuhku sudah kembali sehat.
Aku duduk di teras rumah,
Aku teringat akan janjiku pada Boyan. Janjiku untuk memperingati para
wisatawan pantai kelapa untuk tidak membuang sampah seenak jidat mereka. Tapi,
ada sedikit rasa sesal di benakku. Aku belum mengucapkan terima kasihku padanya
secara langsung ketika ia benar-benar terbangun dan dapat mendengar suaraku.
Tak berselang lama, aku berjalan menuju pantai
berharap energiku bisa pulih kembali. Di perjalanan menuju pantai, aku
bertemu dengan tetanggaku. Mayoritas tetanggaku yang cukup dari segi ekonomi akan bekerja sebagai
nelayan, nelayan yang hanya memiliki perahu kecil setiap sore mereka
pulang dan nelayan
yang memilki perahu
besar biasanya pulang
hanya seminggu sekali karena
perahunya bisa menampung lebih banyak ikan.
Namun berbeda dengan yang berekonomi lemah, mereka
hanya bisa njaring dan
ngeting. Aku bertemu dengan
Jatmiko yang pulang ngeting,
biasanya ia berangkat tengah malam sambil menyalakan lampu ublik untuk mencari
ikan dan pulang pagi, lalu ia menjual hasil tangkapannya di pasar atau di bibir pantai.
“Hei, Mawar!
Hendak ke mana kamu?” sapa
Jatmiko
“Aku
ingin berjalan-jalan saja Jat. Wajahmu terlihat murung, Gerangan apa yang
membuatmu murung Jat?” tanyaku sambil mengernyitkan dahi
“Bagaimana aku tidak
murung dan kecewa, aku pergi
ke laut semalaman yang kudapat hanya sampah. Padahal sebelumnya, aku selalu mendapat ikan. Lalu, apa yang harus kujual
ke pasar nanti? Jika aku tidak mendapat ikan, bagaimana nasib keluargaku Mawar?”
ujar Jatmiko sambil menahan
air mata
“Apakah sudah sangat parah kondisi
laut di Lautku ini?” gumam hati kecilku
“Begini
saja, pasti di bebatuan ada tiram. Sementara waktu, kau manfaatkan tiram itu
dulu untuk di masak, lagi pula tiram rasanya juga sangat lezat Jat” jawabku
menenangkan Jatmiko
“Oiya, aku baru ingat di bebatuan
pasti ada tiram.
Setidaknya hari ini keluargaku
masih bisa makan” ujar Jatmiko penuh harap
“Lalu,
mengapa kau masih di sini? Ayo
ambil tiramnya,” ucapku sambil tersenyum
Kemudian, Jatmiko dengan cepat membalikkan tubuhnya, lalu berlari kembali
ke bibir pantai sambil
berteriak “Aku pergi dulu Mawar!”
“Iya,
lari yang kencang biar tidak keduluan
yang lain Jat,” jawabku
berteriak
Tak
lama kemudian, aku sampai di pantai dan
bertemu dengan Pak Muhasan, seorang penjaga Pantai Kelapa Panyuran Tuban yang
sedang menyapu sampah di bibir Pantai.
“Hai, Pak Muhasan!” Sapaku
dengan antusias.
“Hei Mawar, bagaimana kabarmu
Nak?” ucap Pak Muhasan yang berhenti menyapu. “Kabarku baik Pak, ada yang
ingin aku bicarakan padamu” ujarku.
“Tentu saja, silakan,” jawab Pak Muhasan
seraya meletakkan sapunya
dan mengajakku
duduk.
“Jadi
begini Pak, Semenjak pantai ini dibuka menjadi
tempat wisata oleh pemerintah. Aku melihat banyak sekali masalah sampah
bermunculan. Para wisatawan suka membuang sampah sembarangan, Apalagi banyak
oknum yang sengaja membuang sampah rumah tangga
bahkan limbah pabrik ke laut sehingga kita harus mengambil tindakan tegas bila
perlu memberikan sanksi jera
terhadap para pengunjung atau oknum yang tidak bertanggung jawab itu,"
keluhku.
"Iya
Nak, aku sebenarnya setuju dan mengerti akan hal itu.
Di sisi lain, aku juga takut tindakan tegas itu akan membuat jumlah
wisatawan berkurang. Pantai ini adalah mata pencaharian utama warga setempat,
dan ekonomi kami sangat bergantung pada pariwisata ini," Jawab Muhasan dengan nada yang
lembut.
“Aku
memahami kekhawatiran Pak Muhasan, tapi aku juga tak bisa mengabaikan masalah
sampah ini,” Gumamku dalam hati.
"Tapi,
lihatlah sekelilingmu Pak. Sampah-sampah berserakan, terutama plastik yang
berpeluang besar berakhir
menjadi pulau plastik
jika kita tidak bertindak sekarang. Bagaimana kita bisa membiarkan hal itu terjadi? Tidak bisa
dipungkiri, hewan di laut juga memakan sampah karena kemarin aku juga keracunan
mikroplastik yang ada di dalam tubuh
ikan, Pak. Apalagi, para nelayan juga terdampak karena hasil tangkapan mereka
bukan lagi ikan, melainkan sampah-sampah Pak," sanggahku.
"Nak,
aku turut prihatin atas musibah yang menimpamu. Aku juga peduli dengan
lingkungan laut, tapi kita harus memikirkan warga yang bergantung pada pantai
ini untuk hidup. Mereka menjual makanan, souvenir, dan jasa lainnya kepada
wisatawan," Ujar Pak Muhasan yang mencoba meyakinanku.
Debat
kami berlanjut, masing-masing dari kami merasa benar dengan pendapatnya. Tapi
aku tahu, kita harus menemukan jalan tengah. Aku berpikir sejenak, lalu
berkata, "Pak Muhasan, bagaimana jika kita tidak memberlakukan sanksi,
tetapi kita mengedukasi para wisatawan dengan memasang poster-poster ajakan
untuk membuang sampah pada tempatnya
di sepanjang pantai ini? Poster tentang bahaya membuang sampah
sembarangan dan dampak negatifnya pada lingkungan sekitar kita. Apalagi, jika teknologi Boyan Slat yang menciptakan pembersih sampah di Lautan bisa diterapkan di
Pantai Kelapa. Tidak menutup kemungkinan pula, seiring berkembangnya teknologi
pasti masalah ini akan terselesaikan." ujarku pada Muhasan yang juga
bingung menyelesaikan masalah ini.
Pak
Muhasan merenung sejenak, lalu mengangguk setuju. "Itu mungkin bisa
menjadi solusi yang baik, Nak. Kita bisa melibatkan warga setempat dalam
mengelola dan menjaga kebersihan pantai ini, serta mengedukasi para
pengunjung." Jawab Muhasan yang terlihat sangat antusias.
"Baiklah, Pak. Semoga kita bisa bekerja
sama untuk menjaga
keindahan Pantai Kelapa dan mendukung ekonomi para warga
setempat," ucapku tersenyum puas. Lalu, Kami berdua meninggalkan pantai
dengan perasaan lega karena kami telah menemukan solusi yang baik untuk menjaga
keindahan Pantai Kelapa dan menjaga mata pencaharian warga setempat.
Beberapa
bulan kemudian, Pantai Kelapa terlihat lebih bersih dan lebih terawat. Kampanye
melalui poster tentang menjaga kebersihan pantai sudah terpasang di sepanjang
pantai. Para pengunjung mulai sadar
akan pentingnya menjaga
lingkungan, dan warga
setempat bekerja sama untuk menjaga ekonomi mereka dan keindahan alam
yang mereka cintai.
“Ketika
senja melukiskan keindahannya. Saat itu aku berdoa, semoga Pantai Kelapa selalu
indah seperti ini, dan semoga kepedulian terhadap lingkungan ini juga menyebar
ke seluruh Laut Jawa Timur,” doaku penuh harap.
Arti Istilah
1. telebok : lumpur
2. njaring : menjaring
ika-ikan di laut
3. ngeting : mencari
ikan di malam hari menggunakan lampu ublik
4. tiram : hewan
yang hidup di bebatuan dan bisa dikonsumsi
5. waar vandaan : dari mana?
6. moeder : ibu
7. volle modder : penuh lumpur
8. je nieuwe vriend
: teman barumu
9. een tijdje
: untuk
sementara waktu
Tidak ada komentar
Posting Komentar